Log in
A+ A A-

Jagongan Bersama Ms. Joyce Bender

Selasa sore, 3 Oktober 2017, ruang tengah sebuah café angkringan yang bergaya khas joglo nan asri dengan pepohonan terasa begitu menyejukkan. Puluhan pegiat disabilitas, baik yang berasal dari Organisasi Penyandang Disabilitas maupun lembaga-lembaga lain yang peduli dengan isu disabilitas, bergegas menuju café yang bernama Waroeng Klangenan yang terletak di Kecamatan Wirobrajan, Kota Yogyakarta, tepatnya sekitar 150 meter sebelah barat perempatan Patangpuluhan. Dengan antusias mereka datang untuk bergabung dalam sebuah acara bertajuk “Jagongan Bersama Ms. Joyce Bender”, yang merupakan diskusi terbuka dengan tema “pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas” yang diadakan oleh Saujana Indonesia bekerjasama dengan U.S. Embassy Indonesia.

Diskusi yang berlangsung sekitar pukul 16.00 hingga 19.00 wib itu dibuka dengan sambutan oleh Mr. Jed Dornburg, Deputy Cultural Attache U.S. Embassy, dilanjutkan dengan sambutan dari Rubby Emir, Direktur Saujana Indonesia yang sekaligus menyampaikan paparan singkat tentang situasi disabilitas di Indonesia kaitannya dengan dunia kerja. Dikatakan oleh Rubby, bahwa disabilitas di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan, di antaranya adalah stigma dan diskriminasi; minimnya data yang bisa diandalkan; rendahnya partisipasi pendidikan, kerja, dan akses kepada layanan kesehatan berkualitas; rendahnya penegakan hukum dan undang-undang; serta aksesibilitas layanan dan fasilitas publik yang buruk.

Ms. Joyce Bender sebagai narasumber utama dalam diskusi terbuka tersebut adalah presiden sekaligus CEO dari Bender Consulting Service, sebuah perusahaan Amerika Serikat yang bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas. Ms. Bender ini telah membangun karirnya selama 30 tahun dan secara mendunia dikenal sebagai pemimpin dalam isu pekerjaan untuk disabilitas, sejak ia mendirikan Bender Consulting Service, Inc. pada tahun 1995. Pada tahun 1985, Ms. Bender mengalami sebuah kecelakaan yang mengancam jiwanya dikarenakan epilepsi yang menyebabkan pendarahan otak sehingga harus dilakukan operasi otak. Kecelakaan ini membuat Ms. Bender kehilangan 60 % pendengaran di salah satu telinganya dan juga membuatnya menyadari bahwa ia menderita epilepsi. Namun hal tersebut malah membuatnya memiliki hasrat untuk menolong orang dengan disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan yang baik. Ms. Bender yang juga merupakan Sarjana Psikologi dari Geneva College ini juga adalah seorang pembawa acara  talkshow radio mingguan berjudul “Disability Matters with Joyce Bender” yang bisa diikuti secara online melalui internet di voiceamerica.com.

Image caption: Sambutan dari Mr. Jed Dornburg, Deputy Cultural Attache U.S. Embassy.

Dalam diskusi informal tapi mendalam tersebut, Ms. Bender banyak menceritakan perjalanan hidupnya sebagai penyandang disabilitas. Selain itu ia juga memaparkan bagaimana komunitas disabilitas di Amerika Serikat dapat bergerak memperjuangkan hak-haknya, termasuk hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Pada kesempatan sore itu, Ms. Bender meyakinkan dan memotivasi bahwa penyandang disabilitas juga mampu bekerja dan bisa berprestasi dalam segala bidang pekerjaan. Selanjutnya, Ms. Bender menceritakan tentang apa yang sudah dilakukan oleh lembaga yang dipimpinnya yaitu memberikan layanan kepada perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat yang sedang mencari potensi-potensi pekerja yang ahli di berbagai bidang, dengan cara menghubungkannya dengan para penyandang disabilitas yang memiliki kualifikasi untuk mengisi posisi di pekerjaan-pekerjaan tersebut. Ms. Bender mengatakan bahwa dirinya selalu menekankan bahwa lembaganya membantu orang-orang yang memang benar-benar mencari pekerjaan, bukan karena belas kasihan semata, dan bahwa para penyandang disabilitas ini memang benar-benar memiliki kemampuan. Menurut Joyce, tidak ada perusahaan yang mau mempekerjakan penyandang disabilitas jika mereka tidak tahu kenapa mereka harus mempekerjakan penyandang disabilitas, kemampuan apa yang dimiliki oleh para penyandang disabilitas, dan apa manfaat yang akan mereka dapatkan ketika mempekerjakan penyandang disabilitas. Ms. Bender menceritakan bahwa ia selalu menekankan kepada perusahaan, ketika mereka mempekerjakan penyandang disabilitas, mereka akan bekerja dengan sangat giat dan luar biasa. Mereka juga akan datang lebih awal, karena mereka sangat menghargai kesempatan pekerjaan yang diberikan, sehingga performanya akan jauh lebih baik dibandingkan karyawan pada umumnya.

Ms. Bender juga mengamini apa yang dikatakan Rubby bahwa hal mendasar yang seringkali menjadi hambatan adalah persoalan stigma bagi penyandang disabilitas. Stigma adalah hal buruk pertama yang harus dihilangkan karena akan sulit bagi kita untuk membicarakan akses pendidikan dan lapangan pekerjaan jika kita masih belum bisa menghilangkan stigma di dalam masyarakat. Sayangnya, seringkali stigma terbesar dan terburuk justru muncul dari keluarga sendiri.

Antusiasme peserta diskusi ketika sesi tanya jawab juga sangat tinggi. Sambil menikmati suguhan khas angkringan, seperti jadah goreng, tempe goreng, bihun goreng, dll., peserta berebut untuk mengungkapkan pendapatnya dan mengajukan pertanyaan. Salah satunya Robby, seorang Tuli anggota Deaf Art Community (DAC) yang menanyakan tentang mengapa penyandang disabilitas di Amerika Serikat berani ngotot untuk memperjuangkan hak-haknya dari ketidakadilan yang ia terima, sedangkan kultur di Indonesia untuk memberontak di keluarga sendiri saja susah, karena seringkali keluarga dan lingkungan terdekat sudah menganggap bahwa penyandang disabilitas tidak bisa apa-apa, apalagi di lingkup yang lebih besar lagi. Robby ingin tahu bagaimana pemikiran penyandang disabilitas di Amerika Serikat bisa berubah begitu drastis terkait disabilitasnya. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Ms. Bender dengan menjelaskan bahwa penyandang disabilitas di Amerika Serikat pun mengalami proses yang panjang, yaitu sejak tahun 1970 hingga 1999. Dulunya mereka pun memulai melawan stigma sejak dari lingkungan keluarga. Selain itu, ketika penyandang disabilitas hanya bergerak sendiri-sendiri, tidak banyak hal yang akan bisa mereka lakukan. Itulah kenapa penyandang disabilitas harus bersatu padu dan berkomunitas atau berkelompok agar supaya bisa mendorong terjadinya perubahan.

***

 

  • Published in Artikel
Subscribe to this RSS feed